Selasa, 31 Oktober 2017

KEBENARAN (BELUM) PASTI MENANG

Ilustrasi Demokrasi dan Penegakan Hukum
(Sumber : https://riesalam.wordpress.com/author/riesalam)

“Kebenaran pasti menang”

Adalah sebuah frasa yang begitu luas dikenal, baik sebagai suatu kutipan maupun berupa sebentuk keyakinan. Secara hipotesis manusia mempercayai bahwa pada akhirnya kebenaran akan menang, karena memang itulah yang kita inginkan. Akan tetapi yang harus kita pahami adalah kebenaran tidak mungkin muncul dengan sendirinya, ia menunggu untuk diungkap dan diperjuangkan. Sayangnya jalan menuju kebenaran seringkali terjal dan berliku.

Apakah kebenaran sudah pasti menang? belum tentu.

Hari ini, 31 Oktober 2017, lebih enam bulan berlalu sejak terakhir kali Amelia Nasution melangkah melewati gerbang sekolahnya di SMK Negeri 3 Kota Padang Sidempuan, Sumatra Utara. Ia bukannya sedang ikut pertukaran pelajar sehingga bisa absent sampai enam bulan, bukan sedang berpartisipasi dalam olimpiade, maupun sekadar malas sekolah dan ijin tidak masuk. Amel pergi selamanya. Ia telah memilih melepas impian dan cita-citanya ketika memutuskan menenggak racun tanaman pada 5 April 2017 silam.

Amel dan dua orang temannya mengetahui tentang perbuatan curang seorang guru yang membocorkan jawaban Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Mereka lalu menyuarakannya lewat postingan di media sosial. Perbuatan ini membuat ketiganya dipanggil dan diinterogasi oleh guru BK dan kedua guru lain. Kedua teman Amel mengungkap bahwa interogasi yang dilakukan oknum pendidik tersebut cenderung mengintimidasi, dengan jalan mengancam akan memenjarakan mereka dan denda 750 juta. Ucapan-ucapan guru mereka saat proses interogasi yang menimbulkan rasa takut, cemas, dan stress sehingga mendorong Amel untuk melakukan bunuh diri dapat pula dikategorikan sebagai tindakan bullying dengan tujuan menutupi kebenaran.

Kejadian nahas ini mau tidak mau menggulirkan kembali ingatan kita ke pertengahan 2011, ketika publik dikejutkan dengan kasus yang menimpa Ibu Siami. Warga Gadel, Surabaya ini diusir secara paksa dari rumahnya setelah melaporkan perbuatan curang seorang guru. Oknum guru tersebut merancang contek-mencontek yang sistematis ketika ujian dan memaksa Al, putra Ibu Siami, memberikan contekan kepada teman sekelasnya. Sang guru bahkan merasa cukup percaya diri untuk menggelar simulasi tentang bagaimana caranya menyebarkan contekan. Sungguh sebuah kasus unik yang mencerminkan sebagian wajah gelap pendidikan negeri ini.

Akan tetapi yang lebih unik lagi adalah reaksi masyarakat ketika kebenaran terungkap. Siami yang tak habis pikir bagaimana hal seperti itu terjadi di suatu institusi pendidikan lantas protes kepada pihak sekolah, akan tetapi respon yang diberikan pihak sekolah tidak memuaskan. Oleh sebab itu, dia melaporkan peristiwa ini kepada Dinas Pendidikan dan media sehingga kasus ini menjadi perhatian publik. Laporan itu berujung pada dicopotnya kepala sekolah dan dua guru di sekolah tersebut.

Kejadian selanjutnya justru di luar nalar, warga dan wali murid yang marah terang-terangan menyalahkan Siami, menganggapnya pembuat onar dan telah mencoreng nama baik sekolah. Warga bahkan menggeruduk rumahnya dan menuntut supaya Siami meminta maaf secara terbuka atas perbuatannya. Ironis sekali membayangkan niat tulus Siami menanamkan kejujuran kepada putranya justru membawa ia sekeluarga berdiri dihadapan ratusan warga sambil menangis minta maaf. Sayangnya kemarahan warga tak berhenti di situ. Ratusan massa yang menyemut di balai RW dan sekitarnya bahkan mengusir keluarga Siami dari rumahnya.

“Usir…usir… tidak punya hati nurani!” begitu teriakan menghujat yang diucapkan warga dengan penuh emosi. Entahlah apa kita masih hidup di dunia yang sama, karena sepertinya sekarang kita punya musuh bersama yang benar-benar baru : kejujuran. Saat itu polisi sampai memutuskan harus mengevakuasi Siami dan keluarganya dengan mobil patroli karena massa yang semakin beringas berusaha merangsek dan menarik-narik kerudung Siami. Pada akhirnya keluarga ini terpaksa diungsikan ke Gresik karena merasa tidak aman dan dikucilkan di lingkungan rumahnya.

Apa yang terjadi kepada Siami, tentu membuat nyali ciut. Ketika kejujuran dan keberanian mengungkap kecurangan harus dibayar begitu mahalnya. Selama menguntungkan semua pihak, kecurangan bukanlah hal buruk. Ini toh demi kebaikan semua. Sama-sama untung memungkinkan kita untuk sama-sama diam. Untuk apa mengungkapkan kebenaran yang bisa merugikan? kubur saja, abaikan. White lie, kata mereka. Berbohong demi kebaikan. Pertanyaan nya adalah : kebaikan siapa?

Bahkan bagi para orangtua yang buncah memprotes Siami tak punya hati nurani, apakah berbuat curang seperti ini baik untuk masa depan anak-anak mereka? Dunia berputar cepat. Persaingan akan semakin ketat. Di masa mendatang anak-anak ini akan dengan mudah tergilas kompetisi karena memang tidak kompeten dan parahnya lagi tidak memiliki semangat juang karena mereka terbiasa menang mudah sejak kecil.

Setelah remaja, para orangtua mungkin harus menyuap untuk meluluskan anak-anaknya masuk universitas unggulan. Menyingkirkan kandidat lain yang lebih pantas. Lalu ketika dewasa orangtua mereka masih juga akan menyogok untuk mendapat pekerjaan, karena sejak awal mereka memang sudah gagal memenuhi  kualifikasi. Jadi berhentilah mengharapkan pemerintahan diisi oleh pejabat yang jujur dan tidak korup serta para pelayan masyarakat yang berdedikasi. Kita sendiri yang telah mendidik generasi muda kita seperti itu, minimal dengan diam saja ketika menyaksikan kecurangan saat ujian. Siklus ini terus berputar seperti lingkaran setan, hingga tidak ada lagi kesempatan untuk bakat murni dan kerja keras, menyisakan budaya korup dan curang yang mengakar.

Anak-anak yang ujiannya saja harus mencontek supaya bisa lulus tidak akan menjadi apa-apa selain benalu. Merepotkan, dan lebih parahnya lagi merusak! Disadari atau tidak, menyepelekan kecurangan ‘kecil’ seperti ini lambat laun akan merapuhkan fondasi sistem pendidikan dan penegakan hukum. Jangan heran kalau sekarang ini media semakin sering menyuguhi kita drama-drama menggelikan antara institusi pemerintah yang saling serang dan korupsi yang merajalela.

Saya selalu percaya bahwa pendidikan dan penegakan hukum adalah sesuatu yang paling dibutuhkan bangsa ini jika ingin benar-benar bangkit dari keterpurukan. Keduanya adalah investasi jangka panjang yang terkesan ‘kurang seksi’ untuk dijanjikan saat kampanye karena hasilnya tidak bisa langsung terlihat. Akan tetapi pada hakikatnya pembangunan infrastruktur tidaklah lebih penting ketimbang memprioritaskan pendidikan dan keadilan di negeri ini. Infrastruktur tak ubahnya alat dan pada akhirnya sumberdaya manusia yang mengelola serta kontrol atas sistemlah yang menentukan seberapa besar alat tersebut bisa bermanfaat.

 “Honesty doesn’t always pay, but dishonesty always costs”

Amel dan Siami. Dua nama yang secara nyata menjadi antitesis bagi kutipan Michael Josephson di atas. Mereka terpaksa membayar mahal keputusan mereka menyuarakan kebenaran. Siapa sangka keberanian untuk melaporkan sesuatu yang memang salah akan mengundang kebencian, membuat mereka dimusuhi hingga mengarah ke persekusi? Sangat masuk akal jika pada gilirannya masyarakat mulai ragu untuk melawan kejahatan dan kecurangan seperti ini.

Namun demikian jangan pernah berputus harapan. Bahwa masih ada lembaga yang bersedia memastikan niat kita berdiri tegak demi kebenaran terlindungi. Adalah LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), suatu lembaga mandiri yang yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan/atau korban sesuai tugas dan kewenangan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Saat ini LPSK memang masih terkendala karena terpusat di kota besar dan belum menjangkau daerah-daerah tertentu. Masih kurang nya perhatian pemerintah terhadap hak-hak saksi dan korban ini terlihat dari minimnya anggaran yang dialokasikan kepada LPSK untuk menjalankan mandat. Akan tetapi dengan kesungguhan penuh, lembaga ini terus berusaha memberikan perlindungan yang layak sehingga setiap warga negara Indonesia mendapatkan hak mereka menyuarakan kebenaran tanpa merasa keselamatan jiwanya terancam. Kita bisa mempercayakan perlindungan kita sebagai saksi atau korban dari tindak bullying, persekusi, maupun kejahatan lainnya kepada LPSK, lantas berdiri kokoh membela nilai-nilai yang kita yakini. Diam tak pernah jadi pilihan.

Suarakan! Jangan ragu barang sejenak. Lapor! Lawan! Karena diam bukan pilihan. Dengan begitu semoga kita menjadi bagian kecil dari suara perubahan. Karena pada akhirnya kita mesti harus memilih antara yang benar dan yang mudah.

Hari ini kurang dari dua bulan sebelum ulangan umum dilaksanakan di sekolah-sekolah. Kita tentu berharap agar jangan ada lagi Amel dan Siami berikutnya yang mesti mengalami tindakan bully atau persekusi, terusir dan bahkan nekad mengakhiri hidup karena keberanian mereka untuk bersuara. Memastikan bahwa kebaikan dan keburukan diletakkan pada tempatnya. Demi masa depan yang cerah untuk anak cucu kita, demi pendidikan yang lebih baik dan penegakan hukum yang lebih adil, tak ada harga yang terlalu mahal untuk mewujudkannya.

Jadi, apakah kebenaran sudah pasti menang?

Jawabannya masih sama : belum tentu.

Kabar baiknya adalah kita selalu bisa memilih ambil bagian dalam memenangkan kebenaran dan membuat mereka yang salah menerima hukumannya. Yang kita butuhkan hanyalah sedikit keberanian dan kepercayaan bahwa negara ada untuk melindungi.


Referensi :

Rabu, 25 Januari 2017

Review Ngawur : The Great Gatsby

          It’s been like 1636782989389873 years since my last post, but dunno… suddenly I just feel an urge to write something about this, about a movie that I watch recently even though it actually was out few years ago. The Great Gatsby by Baz Luhrmann. You know him? Yep, he’s the man behind Shakespeare’s Romeo + Juliet 1996. Yeah… that ‘Romeo dengan kemeja kembang-kembang’ XD


Semua berawal ketika gw and gengs lagi duduk-duduk cantik di McD deket kampus yang kesohor karena memang wifi-nya kenceng (mental gretongan tak takut mati), jadi sembari ngerjain tugas akhir smester bareng Vixi dan Baim kenapa gak gw manfaatin waktu aja buat donlot film? Berhubung gw gak bawa lappy, jadilah si Una yang suruh donlotin. Kenapa pilhan jatuh pada The Great Gtasby? Karena pertama, gw gak kepikiran film lain, dan kedua… minggu-minggu itu memang suasananya lagi maraton film2 Om Leo.

Yeah… semenjak kelas dua SD gw tuh semacem ada huge crush gitu sama Jack Dawson meskipun sekarang Om Leo jelas sudah tak cute lagii (sigh). Asyik aja kalo inget dulu punya kenangan tentang effort gw yang sampe bela-belain stay up 2 malem berturut-turut, Cuma demi nonton Titanic yang waktu itu (kalo ga salah) ditayangin di Indosiar. Apalagi filmnya dipotong jadi dua bagian dan baru kelar jam 1 malem. Begitulah perjuangan gw berhubung dulu gak punya VCD (boro-boro donlot) dan gak kenal bioskop pulak. Hiks.

Balik lagi ke The Great Gatsby, ternyata gw baru ngeh kalo gw udah punya lengkap soundtracknya di almarhum lappy gw yang terdahulu bahkan sejak film ini belum tayang di bioskop. Beberapa bahkan masih gw hapal kayak Young and Beautiful nya Lana del Rey dan Church in The Wild nya Jay Z (Jay Z nggak sih, lupa). Padahal semuanya bukan tipikal lagu yang gw senengin waktu-waktu itu, tapi entah kenapa tetep gw koleksi. Nah meskipun ost nya lengkap, gw belom pernah nonton film nya sama sekali. Pertama karena gw shock dan gak bisa nerima kenyataan kalo Om Leo hanya manusia biasa yang bisa menua (he’s not goblin, okay!), kedua karena k angger dan k adie yang udah nonton duluan bilang kalo filmnya rada-rada begitu. I mean… begitu. Bahkan kemarin pas gw bilang mo donlot film ini, Risma dan Wawa bereaksi … begitu (halahh).

Singkat cerita, selesailah Ujian akhir Semester tujuh sekaligus ujian terakhir kami dalam upaya menempuh program strata 1 FISIP Moes. Berempat kita nginep di kostan Wawa, daripada kesiangan dan bolos kerja gw memutuskan untuk membunuh malam (cieilah) dengan nonton Gatsby sampe pagi. Syukurlah gw belom pernah baca novelnya, belom pernah juga nonton adaptasi film2 nya yang dulu-dulu, jadi gak tau what to expect. Gak punya ekspektasi membantu kita buat lebih attentive pas nonton, dan nerima film yang kita tonton apa adanya (apaan sih?) I mean, kemungkinan untuk kecewa kecil. Right?


Dan… Unexpectedly gw suka film ini. Well that considered weird, mengingat gw itu orangnya lumayan pemilih soal esensi cerita, sedangkan the Great Gatsby ini premis nya super-duper-drama. Maklum, karena film ini memang adaptasi dari Novel klasik tahun 1920an karya Sir F. Scott Fitzgerald. Sudut pandang penulis mengenai kondisi New York pasca Perang Dunia I, di masa kejayaan Wall Street dan ekonomi dunia yang disebut The Roaring Twenties, disampaikan melalui narasi Nick Carraway (Tobey Maguire). Nick bercerita tentang New York saat itu dengan gaya hidup masyarakatnya, matrealisme, kebobrokan moral dan politik, drug and liquors, stigma, pesta-pesta gemerlap juga social gap and inequality saat itu.


Adegan dibuka dengan gambaran Nick yang mengalami depresi berat sepulang dari New York, padahal awalnya ia berangkat ke kota itu untuk mengejar impiannya yang ambisius dengan berjualan obligasi. Kepada psikiater nya Nick menceritakan bahwa seluruh peristiwa yang ia saksikan di sana sepanjang musim panas itu membuatnya muak dan jijik. Nick muak pada semua orang dan segala hal, kecuali Gatsby.


What Gatsby? Ia adalah pemuda misterius berusia 32 tahun yang tiba-tiba muncul dan membeli istana di Long Island. Tak ada yang tau si Gatsby ini keturunan siapa, darimana uangnya berasal, dan apa tujuannya mengadakan grand party yang super grand setiap malam di akhir pekan. Yang jelas… he is suddenly richer than God, they said. Seisi kota New York Cuma datang ke istana Gatsby, menikmati pesta, dan bersenang-senang sambil menebak-nebak apakah kekayaan Gatsby hasil korupsi. Sementara Gatsby memandang ke bawah dari jendela menara rumahnya, berharap menemukan orang yang ia harap akan datang pada suatu malam.


Karakter Jay Gatsby disini adalah seseorang yang misterius dan menyimpan banyak rahasia. Bisa dibilang dia itu multi-dimensional guy. Modest, menyenangkan, ramah, berkelas, idealis, optimis tapi juga pembual, desperate, inrealistic, dan terkadang awkward. Pokoknya complex. But Leo’s Potrayal on him was on point. It just… gw gak bisa bayangin aja kalo yang jadi Gatsby di sini orang lain dan bukan Om Leo. Therefore, I must admit that he is still charming *disundut Hanbin*.


Nick yang bertetangga dengan Gatsby sering melihat tetangga kaya nya itu berdiri di dermaga pada malam hari, tangannya seolah ingin menggapai sesuatu jauh di sana. A green light. Cahaya hijau yang berasal dari dermaga di seberang teluk. Kediaman keluarga Buchanan. Tempat Daisy sepupu Nick—sekaligus Gatsby’s lost love—berada. Daisy (Carey Mulligan) the Golden Girl… that’s what they said, tapi bagi gw Daisy lebih cocok disebut gold digger. Ugh, I hate her. At least pas pertama kali nonton film ini gw pengen pukul-pukul tuh jidat nya pake cutter. Tapi setelah keduakali nonton, karakter Daisy nggak seburuk itu. Nggak bisa dibilang protagonist sih… tapi yah nggak seburuk itu juga. Pfft.

           

Karakter Daisy di film ini adalah spoiled-rich girl, manja, lemah, gak berguna (ini mah sentimen gw kambuh), eh, I mean… she wanted to be protected. Sama seperti harapannya bahwa putri nya kelak akan menjadi gadis yang… beautiful and a little fool, seperti itulah Daisy. But she loves Gatsby, I don’t thing she loves him as much as he loves her… but they do love each other. Bahkan di pagi hari pernikahannya Daisy sempat berubah pikiran setelah menerima surat Gatsby, Cuma aja dia lemah. Menurut teman Daisy, Jordan Baker (Elizabeth Debicky) yang pretty much witness everything, Daisy benar-benar mencintai suami nya sepulang honeymoon. Daisy berusaha mencintai suaminya dan melupakan Gtasby, cuma aja karakter suami nya A***ole, jadi viewer pasti setuju kalo Daisy tuh super stupid for abandoning Gatsby.


The thing is… realita di masa mereka nggak sesimpel jaman kita sekarang. Bagi Gatsby nggak cukup Cuma jadi selingkuhan Daisy. Dia mau nikah sama Daisy lewat jalur yang benar. Itulah kenapa dia ngilang pasca PD I, supaya bisa sukses dan membuktikan kalo statusnya sepadan dengan keluarga Daisy. Tapi Daisy lebih realistis daripada Gatsby dan obsesi cintanya. Daisy mengerti bahwa hal-hal indah cepat berlalu, dan mereka tak akan kembali lagi. Memilih untuk tetap bersama Tom (and his old clean money) lebih aman dari pada Gatsby yang kekayaannya masih misterius. Still, I hate her. Can’t help it. Apalagi sikap selfish nya di ending… she ruined everything.


Oh, ngomong-ngomong soal suami Daisy yang tukang selingkuh itu, Tom Buchanan (Joel Edgerton). Salah satu selingkuhan Tom, Myrtle, tanteh-tanteh nggilani yang nggilani banget itu kok kayaknya familiar ya? Haha. Turns out si Myrtle ini Isla Fisher, yang jadi pacarnya Jesse Eisenberg di Now You See Me. Kaget pek… lipstick menyembunyikan segalanya ya XD


Gw honestly pengen banget ngomentarin sinematografinya (?) yang beautiful banget. Tapi gak tau gimana caranya. Pokoknya transisi darin satu scene ke scene lainnya gw sukak, narasi nya Nick, backsound nya, jalinan scene romantis nya, party-party, well… that leave deep impression. Gw bahkan nggak terganggu dengan pemilihan lagu Hip Hop untuk setting tahun 20an yang katanya Jazzy. Doesn’t matter selama soundtrack yang dipilih bisa menggambarkan apa yang mau disampaikan penulisnya. Dan menurut gw di film ini soundtracknya pas.

            
Overall esensi cerita The Great Gatsby ini drama banget. Dramatisasinya luaarrr biasa. Ini bukan film yang biasanya bakal gw tulis panjang lebar apalagi setelah hiatus nulis lama, tapi apa yang bikin film ini worthy adalah: feel. Perasaan attached dan semacamnya yang gw juga bingung kenapa bisa begitu. Kasarnya, film ini tuh seolah-olah cerita nggak penting yang mengajarkan pelajaran penting: Move On. Tapi kok ya malah gw gak bisa move on. Hiks.


Film-film nya Baz Luhrmann memang distinct. Itulah kenapa menurut gw jadi ‘aneh’ (in a good way of course). Rasa aneh nya mungkin sama kayak setelah nonton R&J 2013, Entah kenapa bagi gw malah versi 1996 yang lebih memorable. Padahal waktu baru pertama kali nonton gw kesel banget ama tu film karena adaptaskinya yang terkesan ‘nyeleneh’. Mungkin karena saat itu gw belom berpengalaman sama film kali, yah, sekarang juga masih cetek sih… tapi seenggaknya gw yang sekarang lebih open-minded. Apalagi waktu itu kita expecting some classic romance, tapi yang muncul malah versi MTV kali ya… jadi gak klik. Dan lagi kita nontonnya pake sub indo padahal dialognya diambil dari bahasa buku, jadilah makin aneh. Eniwei kenapa gw ngelantur lagi bahas R+J???? Ya sudahlah ya, emang kan judulnya review ngawur.


Om Leo emang spesialis karakter-karakter tragis.

Dan tragisnya, gw kalo nonton film tragis itu nggak bisa enggak pasti berandai-andai. Andai aja Daisy nggak se-Bitch itu, andai aja Tom nggak se-Jerk itu, dan andai aja Nick…


Well, karakternya Nick disini berpegang pada nasehat ayahnya: “always see the best of people!”, maka dari itu Nick menjadi karakter yang bisa menghubungkan, bisa dipercaya menjaga rahasia, dan tidak mudah menghakimi orang lain. Tapi sebagai satu-satunya (literally satu-satu nya) orang yang tau kebenaran semua cerita, at least he could do something for Gatsby. Yeah… meskipun kalo begitu nggak bakalan jadi cerita sih. Wkwk. Menurut gw karakter Nick yang sebetulnya baik itu jadi boomerang buat diri nya sendiri. Disaat dia ingin berbuat sesuatu untuk temannya, dia nggak bisa karena prinsip nya untuk tidak cepat berprasangka, dan bahwa semua orang punya alasan dibalik tindakannya. Pada akhirnya Nick tersiksa dan memilih pergi selamanya dari New York, kota yang dipenuhi oleh orang-orang hipokrit.




As for Gatsby, nothing wrong with his optimism really. Hanya saja duhai kang mas Leonardo DiCaprio…. Merebut istri orang itu tidak dibenarkan dalam ajaran agama. Wkwkwkwk abaikan. Obsesi nya terhadap cinta sudah diluar batas. Jay Gatsby memang punya extraordinary gift of hope, dia nggak pernah patah harapan. It’s just… he’s too naïve for this world, a bit unrealistic. He’s also wrong about the past, we can’t repeat the past. Benarlah kata tere liye bahwa melepaskan adalah salah satu cabang dari pohon cinta (tsahhh). Kita nggak akan pernah bisa melihat masa depan selama masih berharap pada masa lalu (aahh… ini quote guehh XD). Film ini bukan tentang jatuh cinta, kehilangan, klimax, bersatu lagi, trus hidup happily ever after. No. Reality is far darker than that. Gatsby taught us that.



Ps: Film ini ternyata nggak terlalu ‘begitu’ kok :D